Apa Kabar Mahkamah Konstitusi ?

Muhtar Sadili
Muhtar Sadili
8 Min Read

Menilik sistem proporsional terbuka yang sedang ramai di ruang publik, melahirkan kritik membangun tentang keberadaan MK dalam sistem tata negara kita. Apakah di masa mendatang masih dibutuhkan MK kala beberapa perselisihan hukum terjadi? MK tetap ada dengan perbaikan dalam integritas hakimnya? Dan MK jangan lagi mengadili sengketa pilkada termasuk juga soal sistem pemilu yang menurut banyak orang akan menyeret MK pada ranah politik praktis.

Idealnya MK adalah jalan lapang untuk menuangkan ide-ide berbeda tentang ruh sebuah konstitusi. Bukan menjadi alat dalam riuh kontestasi yang pada praktiknya kerap melahirkan suasana tidak produktif untuk pendewasaan hukum nasional. Hukum jadi alat tajam untuk kepentingan sesaat dengan menelantarkan misi penegakan keadilan bagi banyak pihak.

Dalam disertasi yang kemudian menjadi buku berjudul “Politik Hukum di Indonesia” karya Mahfud MD, MK dihadirkan menyempurnakan sistem tata negara kita. Mahfud mengambil pengalaman negara barat melahirkan supreme court, yang bisa mengadili perselisihan terkait materi yang ada dalam rumpun peraturan perundang-undangan. Sekaligus menyelesaikan kebuntuan proses politik yang kerap dihantui oleh kepentingan sesaat hingga melanggar prosedur demokrasi yang baik.

Usulan ini terus bergulir setelah Mahfud menyampaikan dalam beberapa kesempatan; dalam media cetak maupun elektronik. Para ahli tata negara melihat usulan Mahfud sangat realistis di tengah keinginan masyarakat untuk berperan dalam pemilihan kepala daerah tidak bisa dibendung kembali.

Kedaulatan rakyat akan “diamankan” sampai batas paling maksimal dalam bingkai tata negara kita. MK menjadi benteng paling kuat untuk membendung upaya perampasan kedaulatan rakyat dalam pilkada.

MK hadir karena pengalaman traumatik bangsa Indonesia di masa lampau yakni penggunaan kekuasaan secara tidak bertanggungjawab oleh penyelenggara negara terutama kekuasaan eksekutif yang merangkap sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU (legislatif).

Pada waktu negara ini diproklamasikan berdirinya pada tahun 1945, UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri negara tidak mengatur secara jelas mekanisme dan system pengawasan (control) antara cabang-cabang penyelenggara kekuasaan Negara.

Kewenangan-kewenangan dan gugus tugas yang dimiliki para penyelenggara Negara berdasarkan UUD 1945 tidak dibatasi secara rigid. Bisa dipahami, sebagai negara baru pembatasan-pembatasan diatur dalam UUD secara fleksibel agar tidak menghambat tugas para penyelenggara Negara dalam mengemban cita-cita dan tujuan kita bernegara.

Pada tahap awal kita bernegara (Negara baru), “kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia,” diperlukan keleluasaan bagi para penyelenggara Negara untuk bertindak, oleh karena itu sistem pengawasan/kontrol yang melembaga dipandang belum terlalu penting.

Meskipun begitu, para pendiri Negara menyadari kelemahan tersebut, karena itu mereka menekankan sekali pentingnya semangat para penyelenggara Negara. “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya Negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan.”

Betapapun lengkapnya aturan-aturan tentang mekanisme dan sistem pengawasan diatur dalam UUD, semua itu tidak ada artinya (meaningless) dalam praktik, apabila semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan bersifat perseorangan.

Sejarah Republik kita penuh dengan lembaran-lembaran hitam mengenai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari para penyelenggara Negara (pemimpin pemerintah), mulai dari republik di bawah Presiden Soekarno sampai kepada republik di bawah Presiden Soeharto. Bahkan ketika bangsa kita memasuki republik baru, pengalaman traumatic seperti itu masih juga terjadi.

Pengalaman traumatik dalam penggunaan kekuasaan publik secara tidak bertanggungjawab selama berlakunya UUD 1945 menegaskan thesis para ahli ketatanegaraan bahwa kekuasaan memang cenderung korup jika tidak diawasi dan bahwa mengandalkan semangat atau itikad baik para penyelenggara Negara saja dalam menjalankan kekuasaan publik seperti dalam kasus Indonesia adalah tidak valid.

Momentum perubahan UUD 1945 adalah kesempatan yang terbaik bagi bangsa Indonesia untuk merevisi kelemahan-kelemahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan khususnya yang terkait dengan sistem pengawasan (control system) dengan membentuk Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga pengalaman-pengalaman traumatik dalam manajemen kenegaraan pada periode republik lama tidak terulang lagi.

Lembaga MK ini dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman yang sepanjang sejarah republik telah seratus persen “bekerja semata-mata untuk mengabdi kepentingan regim berkuasa” dalam mengawasi para penyelenggara Negara menjalankan kekuasaan.

Kehadiran MK dimaksudkan untuk menata secara lebih sistemik sistem kontrol terhadap para penyelenggara kekuasaan. UUD Negara RI 1945 mendorong fungsi pengawasan dari parlemen, namun untuk mencegah terjadinya abuse kekuasaan dan “tirani parlemen” dalam memberhentikan Presiden maka pendapat DPR untuk mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR harus diuji dan diperiksa terlebih dahulu oleh MK. Dalam hal membuat UU, pembentuk UU juga tidak bisa bertindak semena-mena. Kini UU terbuka untuk diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD di hadapan MK.

Di samping itu, MK juga berwenang untuk menguji dan memeriksa rencana pemerinah untuk membubarkan partai politik, memeriksa dan memutus perkara sengketa antara lembaga Negara, dan memutus dan memeriksa perselisihan hasil Pemilu. Ini semua dimaksudkan untuk melembagakan sistem kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan publik agar tidak merugikan hak-hak asasi manusia untuk tujuan mana Negara didirikan.

Kini usia MK beranjak dewasa. Harus diakui banyak putusan yang gemilang dari sudut pandang kepentingan konstitusionalisme meskipun harus diakui masih ditemukan juga putusan yang mengandung kontroversi. Tidak hanya tidak jelas aras logika dan konsistensi pertimbangan-pertimbangan hukum satu sama lain tetapi juga sangat sulit dicerna dan dijelaskan dari sudut substansi dan visi konstitusionalismenya.

Kehadiran MK bukan tanpa kritik dan bukan tanpa penolakan. Hingga kini meskipun dia sudah bekerja masih dipersoalkan dasar-dasar teoritis dari lembaga ini yang diberi kekuasaan penuh untuk membatalkan UU, padahal UU adalah hasil kerja 550 kepala dan seorang Presiden beserta Para Pembantu dan Para Staf Para Pembantunya.

Meskipun begitu masih ada juga yang mengharapkan MK lebih dari sekadar apa yang telah dimilikinya dan dilakukannya sekarang. Sebagian masyarakat mengharapkan MK tidak hanya menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD tetapi juga menguji seluruh peraturan yang tingkatannay di bawah UU yang mungkin tidak bertentangan dengan peraturan yan gberada di atasnya tetapi bertentangan secara langsung dengan kaidah-kaidah dalam UUD atau konstitusi. Termasuk yang diharapkan adalah MK bisa menguji konstitusionalitas kebijakan pemerintah yang melanggar UUD. MK juga diharapkan dapat menguji

Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dinilai oleh korbannya bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UUD (konstitusi). Bahkan ada yang mengharapkan Hakim di pengadilan juga memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan menguji UU kepada MK jika menemukan UU yan gmelanggar UUD padahal UU tersebut akan digunakannya sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan.

Tentu saja MK bisa mengabaikan harapan-harapan itu, karena ada constitutional constraint. Tapi tidak ada salahnya kalau MK tidak berpikir statis. Para hakim MK adalah negarawan, yang seluruh tenaga dan pikirannya didedikasikan untuk tegaknya Republik-konstitusionalisme. Mereka bukan corong kekuasaan. Mereka corong konstitusi, tapi bukan konstitusi yang mati tetapi konstitusi yang hidup, konstitusi yang dibimbing dan dihidupi oleh semangat jaman yang terus menerus berubah.

- Advertisement -
Share this Article
Leave a comment