Islam dan Pencurian Data Era Digital

Muhtar Sadili
Muhtar Sadili
6 Min Read

Kemajuan teknologi berhasil mengantarkan manusia kepada era transparansi informasi. Persoalan seputar pencurian data menjadi buah pembicaraan belakangan ini. Fenomena tersebut ditandai dengan ledakan informasi yang sulit dibatasi. Patut disayangkan, kehadiran media sosial yang bertujuan untuk mempermudah sirkulasi informasi disalahgunakan oleh segelintir kalangan sehingga menimbulkan banyak kepelikan.

Problem terbesar dari maraknya kasus pencurian data disebabkan oleh etika bermedia yang kian tergerus. Belum lagi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016 tidak membahas perlindungan data secara khusus. Imbasnya, polemik pencurian data semakin liar tidak terurus. Pencurian data di media adalah salah satu jenis pencurian data yang memanfaatkan jaringan internet sehingga sekat-sekat privasi kian terhapus (Raodia, 2019: 235).

Realita itu menjadi sebuah paradoks, ketika media dilahirkan untuk memudahkan pekerjaan manusia, tetapi justru digunakan untuk penyalahgunaan big data. Ancaman pencurian data menjadi momok bagi masyarakat dewasa ini.

Masyarakat menjadi sasaran empuk bagi pelaku pinjaman online illegal, target profilling partai politik, pembobolan rekening, hingga target telemarketing (Aswandi, 2020: 143-145). Dalam konteks bernegara, pencurian data di media dapat mengganggu stabilitas Negara.

Jika ditilik berdasarkan teori Participatory Media Culture yang digagas oleh Henry Jenkins, media ditujukan sebagai wadah berekspresi sebebas mungkin. Dalam hal ini, khalayak diberikan kesempatan penuh untuk berpartisipasi dalam memproduksi maupun mengonsumsi konten yang beredar di media (Nurhidaya, 2020).

Dalam kacamata Islam, eksistensi media sebagai pengejawantahan perkembangan teknologi merupakan salah satu anugerah Allah SWT sebagaimana terlukis dalam Q.S Ar-Rahman [55]: 33.

Inti sari dari ayat tersebut yaitu Allah SWT berfirman bahwa golongan jin dan manusia sesungguhnya tidak sanggup menembus penjuru langit dan bumi kecuali dengan kekuatan Allah SWT.

Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2016: 88-90) mengisyaratkan kata sulthan dalam ayat tersebut sebagai kekuatan yang berasal dari Allah semata.

Dewasa ini, kata sulthan memiliki pemaknaan yang berbeda. Para mufasir konvensional dan kontemporer menafsirkan dengan ragam penafsiran. Dalam lanskap luas, kata sulthan dapat dimaknai sebagai pengetahuan yang berhubungan erat dengan teknologi.

Sayangnya, perkembangan teknologi yang seharusnya dijadikan sebagai perisai atau kekuatan justru melahirkan banyak rentetan polemik yang menakutkan. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga WhatsApp dimanfaatkan sebagai katalisator perbuatan melanggar aturan. Bahwa media sosial yang mulanya difungsikan sebagai media komunikasi dan berbagi informasi, tampaknya telah bertolak belakang dari value utama media.

Dari paparan itu tergambarkan Indonesia yang saat ini sedang dihadapi darurat perlindungan data. Hal ini disebabkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan senang merusak tatanan kehidupan. Al-Qur’an juga memprediksi manusia sebagai yang senang berbuat kerusakan di muka bumi, kelompok manusia ini dikenal dengan sebutan mufsidin (orang yang senang berbuat kerusakan).

Jejak mufsidin dapat dilacak dalam Al-Qur’an sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S Al-‘Araf [7]: 56, bahwasanya Allah SWT melarang manusia untuk berbuat kehancuran di muka bumi. Allah SWT sangat mencintai keindahan dan tidak menyukai kerusakan. Sungguh, rahmat Allah SWT sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.

Ayat di atas dalam Tafsir Jalalain (2011: 578) dijabarkan bahwa Allah SWT tidak menyukai perilaku kerusakan, baik disengaja maupun tidak. Dalam konteks pencurian data, para hacker (pencuri data) dapat digolongkan sebagai mufsidin.

Lantas, poin-poin apa saja yang mengindikatori kasus pencurian data?
1) Manajemen privasi data yang buruk. Hal ini ampuh untuk memperlancar aksi pelaku pencurian data untuk menemukan celah pembobolan data; 2) Payung hukum terkait pencurian data belum tersegmentasi secara optimal, sehingga perlindungan yang diberikan belum maksimal; 3) Minat masyarakat Indonesia terhadap literasi digital sangat minim. Hal tersebut menjadi sebuah ironi ketika intensitas penggunaan media sosial tinggi tetapi tidak diimbangi dengan kecakapan literasi digital yang mumpuni; 4) Merebaknya teknik manipulasi oleh para pencuri data yang semakin canggih.

Saya kira ada beberapa upaya strategis yang dapat ditempuh yakni: Pertama, menjalankan amanah Pasal 28 G UUD 1945 untuk memperteguh kebijakan dan manajemen basis data yang optimal sejalan dengan ruh Al-Qur’an pada Q.S Al-Anfal ayat 27.

Kedua, setiap individu hendaknya mawas diri dan menerapkan personal data controlling sebagaimana diperintahkan pada Q.S Al-Maidah [5]: 92.

Ketiga menjaga kematangan mental-spiritual dalam beretika di media agar terhindar dari krisis spiritualitas.

Keempat, mengakselerasi program literasi digital sesuai perintah Allah SWT pada Q.S Al-Alaq [96]: 1.

Kelima, ikhtiar bersama dari segenap kalangan, seperti pemerintah, masyarakat, dan lembaga untuk bersatu padu dalam menghadapi gempuran pencurian data. Hal ini sejalan dengan ajaran yang terpaut dalam Q.S Al-Hasyr [59]: 14. Melalui lima suplemen Al-Qur’an di atas, penulis berharap mata rantai pencurian data di Indonesia akan sirna.

Penulis, Hilya Maylaffayza adalah Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Juara 1 Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an (KTIQ) pada Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Kota Tangerang Selatan tahun 2023. Delegasi dari Kecamatan Pamulang.

- Advertisement -
Share this Article
Leave a comment